Archive for 2016

Aku, Dia dan Rokok



Di tempat suci ini, kubulatkan tekat untuk bertaubat. Jauh dari keramaian kota, tenang tanpa polusi. Bahkan tempat ini terletak di perut gunung. Sepanjang mata memandang, semua motif alam berwarna hijau. Hutan, sawah, terasiring yang berundak – undak, indah sekali. Tak hanya bibir, mataku pun turut tersenyum ketika memandangnya.

            29 Juni 2011 awal di mana aku menginjakkan kaki di sini. Tak seorangpun aku kenal. Semua serba baru. Tidak ada teman yang berasal dari SMP yang sama. Sekalipun, tak ada yang satu kota denganku. Senang juga bisa berkenalan dengan teman – teman baru dari berbagai daerah. Satu hal yang jadi kendalaku. Aku tak bisa menggunakan bahasa daerah tempat ini. Memang, daerahku cukup jauh. Perjalananku tak hanya menempuh jarak, tapi juga budaya dan bahasa.

            Aku merasa fine di sini. Tak settik air matapun menetes di mataku. Risih dan jengah rasanya mendengar teman – temanku berkata “Aku gak kerasan” atau “Aku kangen mama”. Apalagi ketika melihat salah satu dari temanku menangis hanya karena jauh dari orangtua. Dasar manja. Aku bisa tertawa di saat yang lain menangis. Tapi itu hanya awal. Malam ini aku menangis. Entah apa yang kutangisi. Mungkin ini yang dirasakan teman – temanku saat pertama kali di sini. Itulah air mata pertama dan terakhirku. Aku berjanji tidak akan lagi menangis untuk apapun. Karena bagiku air mata itu mahal dan gengsi.
            Kukira hidup jauh dari orangtua itu enak. Bebas melakukan apa saja yang kita mau. Tak ada lagi ocehan panjang lebar dari ayah – bunda. Tidak perlu berdebat karena beda pendapat dengan ortu. Tapi semua salah. Memang jauh dari orangtua itu bebas. Ibarat bebas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Ternyata lebih rumit dari yang kukira. Inilah hidup yang sesungguhnya. Harus menyelesaikan dan menghadapi masalah dengan diri sendiri.

            Aku kurang suka dengan yang namanya curhat. Kepribadianku memang introvert. kedengarannya ironis, di sebuah pondok pesantren yang harusnya tiap individu memiliki jiwa sosial yang tinggi. Tapi inilah aku. Sudah kucoba untuk membuka diri, tapi bullshit.
***

            Aku terbangun, 2 jam sebelumnya adalah 22.00. Perlahan, aku mulai menyatukan kembali jiwa dan ragaku. Kulihat sekitar, teman – teman sekamar sudah tidur. Aku meraih tasku dan mengambil posisi di balik pintu. Kuraba – raba isi tasku. Aku sedang mencari benda berbentuk kotak putih dan sebuah batang yang dapat mnghasilkan api.

                        “Srrrt….pffuhhh…”

            Satu hisapan dan satu hembusan. Enjoy sekali rasanya. Kulanjutkan menghisap dan menghembuskan asap pada benda itu hingga habis sebatang. Kurang puas, kulanjutkan dengan batang – batang yang lain. Sebenarnya tak ada keinginan untuk kembali pada kebiasaan lamaku yang buruk ini. Tapi tak ada lagi plihan bagiku. Aku tidak menemukan teman yang cocok. Semua sama saja, munafik! Manis di depanku, menusuk dari belakang. Seorangpun, tak ada yang mengerti aku. Meski telah lama mengenal namaku, mereka tak mengenal hatiku. Satu kesimpulanku, teman terbaikku sejak dulu : rokok.

                        “Uhuk,uhuk….”

            Salah satu dari temanku yang tidur tebatuk – batuk. Akhirnya aku menyudahi rokokku. Tidak enak hati rasanya jika samapai membuatnya sampai terganggu karena asap buatanku. Kubersihkan semua sisa batang hisapanku yang telah menghitam ujungnya. Aku tak ingin meninggalkn jejak sedikitpun.

            Pukul 00.00, aku menuju lantai tiga gedung asrama. Memojokkan diri dan mulai melakukan ritualku seperti biasanya. Setelah 2 batang rokok habis, kudengar langkah kaki manusia yang sepertinya menuju ruangan ini. Aku terkesiap mencoba menutupi semuanya.

                        “Dik,kamu ngapain di sini?”

                        “Eh,…Belajar.”

            Ternyata bagian keamanan asrama. Untungnya tiap kali akan merokok, aku selalu membawa tas sebagai cover.

                        “Sebaiknya sudahi dulu, sudah malam. Silahkan kembali ke kamarmu dan istirahatlah.”

                        “Baiklah, terima kasih.”

            Rapi sekali. Tak seorangpun tahu aku seorang perokok. Siapa sangka, seorang gadis pendiam, kalem, dan terlihat selalu tenang, ternyata seorang pelaku kenakalan remaja. Apalagi kasusnya di dalam sebuah pondok pesantren.
***

            Aku selalu berpikir di mana tempat yang pas untuk merokok. Tempat yang sekiranya tidak menggangu dan tak diketahui oleh siapapun. Aku memandang lurus dari jendela lantai tiga. Pandanganku kosong. Butuh beberapa menit menyadari ke mana arah mataku. Saat sadar akan pandanganku, aku tersenyum melihat bangunan tua yang terletak tiga meter dari tempatku berdiri.

                        Good idea”, gumamku.
***

            Seperti biasa, aku tidur lebih awal dari teman – temanku. Lalu bangun pada pukul 00.00. Sesuai rencana tadi pagi, aku akan merokok di gubuk itu. Sebenarnya bukan gubuk, melainkan gudang tempat penyimpanan barang – barang bekas milik alumni. Tapi jika melihat penampilannya yang menjenuhkan mata, pantaslah kusebut gubuk.

            Suasananya gelap, dan  lebih menyeramkan pada malam hari. Masa bodoh, aku hanya ingin melepas rasa stresku. Kuambil sebatang rokok dari tasku, kusulut dan kuhisap perlahan. Gerah sekali gubuk ini, aku pun mencopot kerudungku.

            Aku menikmati setiap hisapan dan hembusan ini. Sesekali kucoba menghembuskan melalui hidung. Ada satu hal yang baru kusadari. Di seberang sana, jarak yang tak terlalu jauh. Aku melihat cahaya merah dalam gelapnya gubuk ini. Kurasa itu adalah kepala rokok. Berarti ada juga yang merokok di sini.

                        “Hey”

            Dia mencoba menegurku. Mungkin dia juga menyadari keberadaanku di sini sedari tadi. Telingaku mendengar suara itu. Seperti suara putra. Dengan kegopohanku, aku memasang kembali jilbab yang sempat kucopot. Aku sendiri tak tahu maksud dari sikap reflekku tadi. Aku baru mengenal kerudung di sini. Mungkin aku terpengaruh lingkungan. Putri – putri di sini selalu menjaga kerudungnya di manapun, apalagi di depan laki – laki.

                        “Apaan?”

                        “Ngapain kamu di sini?”

                        “Jelas – jelas udah tahu aku di sini ngerokok”

            Dasar pertanyaan aneh. Untung saja dia tidak melihat aksiku tadi. Maksudku,tak bisa melihat dengan jelas. Hanya ada api rokok.

                        “Cuma nanya. Emang sejak kapan kamu ngerokok?”

                        “SMP”

            Aku menjawabnya dengan singkat. Kami kembali pada aktifitas masing – masing.

                        “Kelas berapa kamu, Dik?"

                        “Satu, kamu?”

                        “Kelas tiga.”

                        “Oh, pantesan langsung manggil aku adik.”

            Meski tak bisa kulihat jelas, aku mengerti bahwa dia sedang mengakomodasikan matanya untuk memperhatikanku. 

                        “Gila ya, seorang cewek, baru kelas satu udah ngerokok, di gudang ini pula, keren! Berani banget!”

                        “Terus? Terserah, kamu mau anggep aku cewek…apalah terserah!”

            Kuraba kotak rokokku,kosong. Sampai – sampai aku menunang – nuang kotak itu, tapi hasilnya nihil. Aku kehabisan rokok.

                        “Sial”

                        “Kenapa? Kehabisan rokok?”

                        “Kok tahu?”

            Mengapa dia bisa tahu sedetail itu? Mungkinkah kakak kelasku itu memperhatikan tiap gerikku? Kakak itu mengambil sekali hisapan lalu menjawabku.

                        “Kita sama – sama perokok, jadi apa sih yang gak ngerti?”

                        “Kamu pake rokok apa?”, Dia lanjut bertanya

                        “Mild”

                        “Pake aja dulu rokokku, aku pake Magnum Filter”

            Dia menyodorkan sekotak rokok yang telah separuh isinya.

                        “Benaran gak papa?”

                        “Udah ambil aja”

            Meski ragu, kucoba tuk menghisap si Magnum Filter. Yang membuatku canggung, aku belum pernah mencoba merk ini.

                        “Gimana?”

            Pertanyaan itu tak kujawab. Aku menyimbolkan kata “oke” dengan mengacungkan tinggi – tinggi rokok pemberiannya. Tawa kami pun meledak bersama.

                        “Dik?”

            Kakak itu menegurku setelah kami hening beberapa saat pasca tertawa bersama.

                        “Hah?”

                        “Kalo boleh tahu, siapa namamu?”

            Aku kaget bukan main. Sampai – sampai aku menahan asap yang akan keluar dari mulutku.

                        “Uhuk…”

            Aku terbatuk singkat karena menahan asap yang harusnya kuhembuskan.

                        “Untuk apa kamu tahu namaku?”

                        “Ya, cuma tanya”

                        “Kamu gak perlu tahu namaku. Aku gak mau cari masalah. Lagipula aku ke sini cuma mau ngerokok, gak ada tujuan lain”

                        “Oke, aku bisa ngerti”

            Kami kembali hening seperti posisi awal, sibuk dengan rokok masing – masing. Hingga akhirnya ku telah mengahabiskan seluruh isi kotak yang diberikan kakak itu. Tak nyaman rasanya jika aku harus meminta lagi. Kulirik jam di pergelanagan tanganku.ternyata sudah jam 2 pagi. Lebih baik aku kembali ke asrama.
            Aku membereskan sisa – sisa rokokku. Kumasukkan sampah rokok itu ke dalam tas. Tetap dengan alasan yang sama, aku tidak ingin meninggalkan jejak. Ketika aku mulai beranjak,

                        “Mau ke mana?” 

                        “Mau balik, udah jam 2”

                        “Oh, Ya sudah”
                                                                        ***
            Aku tetap mengikuti solat malam, juga kewajiban dan peraturan yang lain. Hingga saat ini belum satupun yang tahu aku sering merokok. Aku selalu menyimpannya dengan rapi. Gubuk itu, sudah menjadi rumah keduaku. Hampir setiap tengah malam aku menuju bangunan yang jarang terjamah orang lain.

            Malam demi malam, aku melampiaskan rasa jenuh di gubuk itu. Dan tetap saja, kakak itu juga istiqamah merokok di sana. Sering juga kami tertawa bersama. Ada  saja yang menjadi pembicaraan antar sesama perokok. Kami saling kenal, tanpa saling tahu nama masing – masing.
                                                                        ***

            Minggu malam, ketika sedang bersalawat atas Nabi ada kejadian yang menghebohkan. Saat para penghuni pesantren berada di aula lantai tiga, kami mengalami kecelakaan. Awalnya, aku hanya melihat cahaya merah dari jendela. Cahaya itu berasal dari sebrang sana, gubuk itu. Sedetik kemudian, cahaya itu melebar dan melahap basecampku. Bahkan pohon besar di sampingnya turut  jadi korban. Seketika itu pun, kami mengalihkan perhatian pada kebakaran itu. Acara shalawatan bubar tidak pada waktunya.

                        “Aaaaa……!”

            Teman – teman  reflek menjerit karena mati lampu. Listrik sengaja dipadamkan untuk menghindari korsleting. Tentu agar kebakaran tak semakin merambat. Ustad dan santri putra bahu – membahu berusaha memadamkan jilatan api itu. Kami para santri putri menuju lantai dasar, karena merasa takut dengan padamnya listrik dan kebakaran ini.

            Dari sini, aku melihat dengan jelas tempat yang biasa kugunakan sebagai basecamp perlahan mulai rapuh. Sebenarnya, aku menangis dalam hati. Tak ada lagi tempatku melepas rasa stress, ataupun berbagi dengan kakak itu. Aku tak tahu lagi tempat yang nyaman selain gubuk itu. Rasanya, aku lah yang paling kehilangan atas kebakaran itu.

            Kakak itu, apa dia juga mersakan hal yang sama? Kurasa dia juga kehilangan. Kita tak akan bertemu lagi. Aku kenal, tanpa tahu namanya. Entah, apa yang harus kulakukan selanjutnya.

                        “Shallu Alan Nabi Muhammad”

            Seruan itu sebagai simbol bahwa kami diperintah untuk kembali bershalawat. Api telah berhasil dijinakkan. Tapi gubuk itu, hanya tinggal kerangka. Mungkin inilah yang disebut teguran dari Allah. Aku telah mengecewakanNya. Aku telah berkhianat pada Nabi, juga seluruh isi pesantren ini. Ternyata rokok hanya bahagia sesaat, dia sumber petaka yang abadi. Ustad bilang, kebakaran itu disebabkan punting rokok yang masih menyala. Apa karena aku, atau kakak itu?

            Sebaiknya aku berubah sebelum semua tahu aku turut mengambil peran dalam penyebab kebakaran itu. Meski tak hanya aku, tapi juga kakak itu. Aku ingin berhenti merokok, tapi bagaimana bisa? Sedangkan rokok telah menjadi candu bagiku. Aku ingin membuang jauh – jauh kisah tentang aku, dia (kakak), dan rokok.


Terbit di Radar Mojokerto (13 Januari 2012)
 http://tsurayyastar.blogspot.co.id/2016/09/aku-dia-dan-rokok.html

Aku, Dia dan Rokok

Posted by : SolahJX 0 Comments

Judul : Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika Penerbit (PT Pustaka Abdi Bangsa)
ISBN : 978-602-0822-15-0
Tebal Buku : 698 Halaman


Diawali dengan setting Kota Edinburgh menjelang musim semi. Fahri tinggal bersama Paman Hulusi, seorang laki-laki berkebangsaan Turki yang pernah ditolongnya. Ia tinggal di kawasan Stoneyhill Grove, sebuah komplek yang hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Disana Fahri hidup bertetangga dengan orang-orang yang berbeda akidah dan latar belakang. Kehidupan Fahri ditengah pragmatisnya Eropa sungguh tidak mudah.

Fahri melalui hari-hari di Edinburgh tanpa Aisha. Dalam Ayat-Ayat Cinta 2 diceritakan bahwa Aisha menghilang sesaat setelah kepergiannya ke Palestina bersama Alicia, seorang wartawan yang juga sahabatnya. Bulan Januari 2008 Fahri mendapat kabar bahwa Alicia ditemukan tidak bernyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Hal itu lantas membuat Fahri beranggapan bahwa istrinya mungkin saja memiliki nasib yang sama. Ia hanya bisa menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan terus mendo'akan Aisha.

Kehidupan Fahri di Stoneyhill Grove penuh dengan 'kejutan' yang tidak jarang menguji keimanannya sebagai seorang muslim. Pertama, Nenek Catarina. Seorang wanita Yahudi paruh baya yang hidup seorang diri. Awalnya Nenek Catarina tidak menyukai Fahri karena sempat terpengaruh oleh orang-orang di Sinagog yang menganggap Fahri adalah amalek. Seiring berjalannya waktu, kebaikan-kebaikan yang dilakukan Fahri membuat Nenek Catarina menjadi begitu menyayanginya. Bahkan di akhir hidupnya, Nenek Catarina masih menyebut-nyebut nama Fahri. Kedua, Nona Janet, Keira, dan Jason. Keluarga broken home ini hilir mudik masuk kedalam kehidupan Fahri. Keira begitu benci terhadap muslim semenjak peristiwa kematian Ayahnya. Begitupun dengan Jason, adik Keira yang ikut-ikutan membenci Fahri. Keira berkali-kali melampiaskan kebenciannya kepada Fahri -karena ia seorang Muslim- melalui corat-coret di kaca mobilnya dan hinaan yang tidak pantas. Tapi itu semua tidak membuat Fahri gentar, Fahri tetap berlaku ramah terhadap tetangganya itu. Justeru hinaan yang ditujukan kepadanya menjadi cambukan bagi Fahri untuk menunjukan wajah keindahan Islam. Bahkan Fahri mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membantu Keira dan Jason dalam meraih cita-cita mereka. Keira diberi pelatih biola terkemuka sekelas Madam Varenka dan Jason dibiayai untuk melanjutkan sekolah sepak bola.

Disisi lain, Fahri juga menyelamatkan hidup seorang pengemis bercadar dan berwajah buruk bernama Sabina. Sabina yang tidak jelas asal usulnya masuk dalam kehidupan Fahri lalu tinggal bersamanya di Stoneyhill Grove. Sabina banyak menyimpan rahasia dan teka-teki dalam kehidupan Fahri dan Paman Hulusi. Fahri juga menolong Misbah, sahabatnya ketika di Mesir dahulu yang tidak sengaja bertemu di Edinburgh. Bahkan Fahri membantu membiayai studi Misbah hingga selesai.

Sementara itu, dalam dunia bisnis bisa dibilang Fahri memiliki prestasi yang gemilang. Bisnis milik keluarga Aisha itu semakin maju ditangan Fahri. Butik dan supermarketnya selalu menghasilkan keuntungan, bahkan usahanya itu terus berkembang dengan menambah cabang di beberapa kota.

Apalagi dalam dunia akademik sudah tidak diragukan lagi, Fahri menyelesaikan S1 dan S2 di Al Azhar University of Cairo dan S3 di Freiburg University of Jerman. Pakar Filologi dan Studi Islam ini mengisi hari-harinya sebagai pengajar di University of Edinburgh, menulis jurnal di beberapa situs internasional, dan mengajar Al-Quran dan Ilmu Qiroat di Mesjid Edinburgh dan London. Pernah juga berkesempatan untuk menjadi pembicara di dua acara debat kelas internasional. Debat yang pertama, Fahri menjelaskan tentang konsep amalek dan mengangkat isu Palestina dan Israel. Debat yang kedua, Fahri menjelaskan tentang konsep agama yang sangat jelas dan gamblang.

Lalu bagaimana dengan kisah cinta Fahri? Ternyata kisah cintanya tidak semulus bisnis dan prestasi akademiknya. Fahri merasakan kesedihan dan kerinduan yang mendalam tanpa Aisha disisnya. Berbagai cara telah ditempuh untuk menemukan Aisha, namun tak kunjung memperoleh kabar baik. Sepanjang perjalanan pencarian dan kerinduannya terhadap Aisha, tak jarang Fahri mendapatkan tawaran untuk menikah kembali. Syaikh Utsman -gurunya ketika di Mesir- pernah memintanya menikahi cucunya, namun karena satu dan lain hal Fahri tidak jadi menikah dengan cucu Syaikh Utsman. Lalu Tuan Taher menginginkan anak perempuannya, Heba, menikah dengan Fahri. Begitu juga keluarga besar Aisha yang mendesak Fahri untuk segera menikah lagi. Tahun berganti tahun Fahri mencoba untuk mengikhlaskan Aisha. Hingga akhirnya Fahri menikah dengan Hulya, sepupu Aisha. Tidak mudah menggeser posisi Aisha dihati Fahri awalnya, namun kesungguhan Hulya membuat Fahri bisa mencintai Hulya bahkan memiliki anak darinya.

Resensi Novel Ayat-Ayat Cinta 2: Cinta, Perjuangan, dan Pemikiran Besar

Posted by : SolahJX 0 Comments



Peresensi            : Heni Kusuma
Penulis                : Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit              : PT. Bentang Pustaka
Tebal                   : 575 halaman
Cetakan              : Kelima Edisi II, Juni 2015


Kamu hanya butuh satu kejadian, hanya satu. Percaya atau tidak, dalam kehidupanmu pasti ada kejadian-kejadian kecil yang akan mengubah jalan hidupmu di masa yang akan datang. Satu kejadian tidak sengaja bisa saja menjadi pembuka pintu bagi jalan kehidupan yang lainnya.
Rokok kretek, badai, dan takdir yang tidak disengaja berhasil mempertemukan lima mahasiswa asal Indonesia ini, yakni Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Geri. Lima putra bangsa Indonesia bersekolah di Belanda demi impian meraih gelar Master. Perjuangan mereka dalam meraih program master pun tidak main-main, mulai dari begadang demipaper, bersepeda 5 km bolak-balik ke kampus setiap hari, proposal tesis yang ditolak, sampai dengan kekurangan uang sangu hingga terpaksa mencari pekerjaan paruh waktu, semua hal ini pernah mereka alami.
Selain menjalani kisah susah senangnya menjadi mahasiswa rantau di Eropa, mereka juga menjalin persahabatan dan berbagi tips untuk bertahan di Belanda. Mereka pun bergelut dengan selintas pertanyaan dibenak mahasiswa yang pernah bersekolah di luar negeri: untuk apa pulang ke Indonesia? Dalam perjalanan menemukan  jawaban masing-masing, mereka harus melalui takdir hidup mereka disana, termasuk dengan kisah persahabatan diantara mereka dan perjalanan cinta mereka di Belanda.
Negeri Van Oranje adalah sebuah novel yang berkisah persahabatan diantara lima mahasiswa yang menempuh pendidikan Master di Belanda. Novel ini ditulis dengan begitu  inspiratif dengan bumbu drama khas anak muda. Kisah ini begitu menghibur dan memberi pengetahuan baru bagi para pembaca. Cerita yang dikemas begitu nyata, penuh kejutan dan disertai footnote-footnote informatif. Bahasa sehari-hari Belanda yang sederhana dan mudah dipahami juga tak lupa diselipkan sebagai pengetahuan. Hal ini menjadikan para pembaca memiliki gambaran apabila mereka ingin melanjutkan studi ke Eropa.
Keakuratan dan detail cerita dalam novel ini cukup menggambarkan kehidupan mahasiswa asing di Belanda. Kehidupan dan gambaran kota-kota yang ada dalam cerita demikian detail dan menarik sehingga menghadirkan kerinduan bagi para pembaca yang pernah hidup atau sekedar mengunjungi Belada atau daratan Eropa lainnya, seperti Brussels dan Barcelona. Dalam novel ini pun juga ada berbagai tips menjadi backpacker di Eropa.
Novel “Negeri Van Oranje” sebagaimana judulnya sanggup mendeskripsikan dengan sangat jelas tentang negara yang pernah menjajah Indonesia. Novel ini sangat cocok untuk segala usia, terutama anak muda yang bermimpi untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa, khususnya Belanda. Ada yang pernah bilang, “Jika kamu ingin mengunjungi negeri dongeng, maka berkunjunglah ke Belanda”. Selamat membaca. Dank U Well!
• Komentar Bahasa Pengarang
Bahasa yang digunakan pengarang adalah bahasa yang ringan dan sedikit da campuran bahasa belandanya maklum sang pengarang kelamaan tinggal di belanda jadi sedikit banyak bahsa campuran.
• Unsur Intrinsik Buku
a. Tema
Tema yang diambil adalah Persahabatan dan pendidikan.
b. Alur
Alur yang digunakan adalah alur maju. Karena ceritanya terus berkembang dari subb bab ke bab lain.
c. Penokohan
Penokohan pada buku ini digambarkan oleh pengarang denagn sangat jelas. Melalui cirri-ciri fisik maupun penggambaran sifat. Sifat tokoh yang digunakan adlah Protagonis.
d. Sudut Pandang Pengarang (Point Of View)
Pada buku ini, Pengarang berlaku sebagai orang ketiga. Ia tidak terlibat langsung di dalam cerita.
e. Amanat
Amanat yang dapat kita ambil dari cerita tersebut adalah, Semangat untuk menghargai persahabatan, arti sebuah kehidupan, dan kita janga terlalu puas dengan apa yang kita dapat sekarang dalam segi pendidikan walau kita sudah mendapat gelar S1 kita harus tetap bercita tinggi, dan terus keajr imipian kita setingi-tingginya.
• Kelebihan dan Kekurangan Buku
a. Kelebihan Buku
Buku ini sangat menarik, penuh semangat dan petualangan. Banyak kata-kata yang membuat kita terinspirasi. Dan di buku ini juga banyak cerita tentang kehidupan seorang mahasiswa dan pergaulannya, dan penuh dengan kekocakan.
b. Kekurangan Buku
Menurut saya, ceritanya sangat terfokus kepada ke lima tokohnya dan kehidupannya disana bagaimana.
SUMBER : http://komunitasjendela.org/resensi-novel-negeri-van-oranje/

Resensi Novel : Negeri Van Oranje

Posted by : SolahJX 0 Comments



Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji

Judul : Haji Backpacker

Jenis Buku : Novel

Pengarang : Aguk Irawan

Tahun Terbit : Desember, 2009

Penerbit : Edelweiss

Halaman : 200 Halaman

Keinginan kuat Aguk untuk pergi haji tak dapat dibendung. Segala cara ia lalui agar dapat melaksanakan rukun islam yang ke lima itu. Semua itu ia lakukan karena dua alasan utama, yaitu mencari uang saat musim haji dan melaksanakan haji. Namun, Aguk hanyalah seorang mahasiswa Indonesia kere di Mesir yang untuk makan pun harus ia penuhi sendiri. Tak bisa lagi bagi Aguk menunggu datangnya kiriman dari orang tua karena ia tahu betul keadaan keluarganya di kampung tersebut.

Aguk, dengan modal pas-pasan, berangkat haji dengan keadaan yang seadanya. Tidak seperti calon haji lain yang secara materi sudah disiapkan dengan baik. Ketika sampai di tanah arab, Aguk tidak tinggal diam. Ia segera mencari pekerjaan, apapun itu, asalkan halal dan bisa membuatnya bertahan hidup beberapa hari kedepan. Aguk akhirnya mendapatkan sebuah pekerjaan baru, pekerjaan halal namun mungkin bagi sebagian orang pekerjaan ini tidak pantas, apalagi seorang mahasiswa universitas Al-Azhar yang melakukannya, yaitu sebagai tukang pijat. Aguk tak peduli pendapat orang, ia tetap berprofesi sebagai tukang pijat sambil melaksanakan ibadah haji.

Tidak sedikit mahasiswa yang melakukan haji sambil bekerja karena bagi mereka musim haji adalah musimnya uang mudah didapat. Setiap orang dari negaranya ketika berhaji pasti membawa uang lebih untuk dibelanjakan dan itu adalah kesempatan emas untuk mendapatkan uang. Bahkan sampai selesai berhaji pun kalau beruntung, sisa uang bisa dipakai untuk membiayai hidup selama satu tahun di Kairo.

Aguk tak berhenti berusaha untuk bertahan hidup. Ia berhari-hari sempat tinggal di emperan Hotel Hilton. Ia juga berkelana mencari pekerjaan setiap hari, mencari tumpangan, mencari orang yang mau mentraktir makan, demi bertahan hidup di musim haji itu.

Novel ini merupakan kisah nyata sang penulis, tak heran jika di dalamnya banyak hal yang sangat bisa kita rasakan mungkin nanti saat kita berhaji. Kebanyakan orang mungkin melihat haji sebagai ibadah yang formal, di mana di dalamnya tak banyak intrik seperti suka duka yang dialami oleh Aguk. Banyak terdapat istilah-istilah arab yang kita jumpai dalam lembar demi lembar halamannya. Oleh karena itu, Aguk menambahkan glosarium sebanyak duapuluh satu halaman di bagian belakang novel agar pembaca dapat lebih mengerti jalan cerita yang Aguk sajikan. Apalagi yang ditawarkan haji backpacker? Ceritanya begitu mengalir. Dari bagian awal sampai akhir cerita mengalir sehingga mudah diikuti. Aguk menuliskan novelnya seperti ia sedang mengobrol bersama temannya. Inilah kelebihan yang ditawarkan Aguk agar pembaca bisa melihat sisi lain haji sebagai suatu hal yang penuh dengan pengalaman di luar pengalaman rohani. Cerita tetap informatif dalam menyajikan info-info dunia haji, seperti sa’i, tawaf, atau melempat jumrah.

Tetapi tentu saja, tak ada gading yang tak retak. Mungkin penulis lupa-lupa ingat dalam menceritakan pengalamannya yang diambil 9 tahun yang lalu sejak diterbitkannya novel ini. Contohnya, ada satu bagian cerita yang diceritakan dua kali dalam bab yang berbeda. Kemungkinan yang terjadi adalah penulis terburu-buru menceritakan hal yang diingatnya. Namun, terlepas dari itu semua, tak ada sesuatu yang membuat kita ragu lagi untuk membaca lembar demi lembar novel ini.

Aguk, pria kelahiran Lamongan ini, juga sudah berkiprah di dunia tulis menulis sejak lama. Ia sudah menulis berbagai novel dan tulisan yang jumlahnya mencapai puluhan. Sama seperti novel ini, kebanyakan cerita yang ia sajikan di novel lainnya adalah cerita yang bernafaskan islam. Mungkin ini karena ia kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo jurusan filsafat yang terkenal Universitas Islam tertua di dunia.

Rasa-rasanya tidaklah berlebihan jika penulis mengangkat judul Haji Backpacker. Seperti backpacker lainnya, haji backpacker juga mengalami suka duka dalam perjalanan. Banyak pengalaman semasa haji yang membuat kita kasihan, tetapi juga lucu. Itu adalah hal yang membuat novel ini sayang untuk dilewatkan. Apalagi bagi yang belum menunaikan ibadah haji, novel ini dapat dijadikan gambaran bahwa ibadah haji tidaklah terlalu seram dan formal seperti apa yang dibayangkan.
SUMBER : http://nicovaliranzani.blogspot.co.id/2011/04/haji-backpacker-resensi.html

Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji ''HAJI BACKPACKER''

Posted by : SolahJX 0 Comments

- Copyright © Big Choice in My Life - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -